Pemerintah Harus Bergegas Atasi PHK
Kita tak pernah membayangkan
akan menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran kembali. Nyatanya,
bukan hanya orang-orang AS saja yang harus kehilangan pekerjaannya, Indonesia
juga. Kali ini, bukan pemecatan tahunan, atau karena beperkara dengan
perusahaan, tetapi karena krisis global telah mencekik perekonomian domestik.
Memang, pemecatan karyawan
ini tak serta-merta terjadi. Sebaliknya, diawali dengan penurunan kapasitas
produksi. Lihat saja produsen elektronik sudah mulai menurunkan kapasitas
produksinya sejak Oktober silam. Pasalnya, daya beli masyarakat sudah kian
ciut. Ditambah lagi, rupiah kian keok terhadap dolar AS dan mengakibatkan
ongkos produksi melonjak. "Konsumsi domestik turun 20 persen," kata
Ketua Elektronik Marketer Club (EMC) Agus Subiantoro.
Yang lebih celaka lagi,
bukan hanya daya beli masyarakat yang lemah, namun daya saing produk Indonesia
terhadap produk China juga menyusut. Tak heran, Oktober lalu, PT Omedata, salah
satu perusahaan peralatan elektronik di Bandung harus melakukan PHK terhadap
seluruh karyawannya yang berjumlah 1.500 orang.
Industri tekstil juga harus menelan pil pahit
ini. Awal November lalu, tiga perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT) telah
menghentikan produksinya. Ketiga perusahaan itu adalah PT Sentral Star selaku
produsen pakaian, PT Rajabrana (pakaian), dan PT Malaktex (produsen benang).
"Ketiga perusahaan tersebut sudah menghentikan produksinya," kata Ade
Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jawa Barat.
Menurut Ade, penghentian
produksi ini akibat krisis yang melanda Amerika. Sebabnya, buyer asal Amerika
yang selama ini memberikan order secara tak disangka menghentikannya.
"Mereka kehilangan order," tegasnya. Lantaran ordernya terhenti, maka
modal ketiga perusahaan ini terganggu dan akhirnya menghentikan produksi.
Ketiga perusahaan tersebut memiliki karyawan
sebanyak 9.000 orang. Nah, jika tidak segera ditanggulangi, maka nasib periuk
nasi ke 9.000 karyawan ini jelas-jelas akan terancam. "Saat ini masih ada
sebanyak 1.600 perusahaan TPT dengan total karyawan 1,3 juta," paparnya.
Bukan hanya itu, menurut Ade
masih ada perusahaan lain yang telah merumahkan karyawannya akibat pelemahan
ekspor dan konsumsi dalam negeri. Menurut Ade, setiap harinya ada sebanyak lima
hingga 10 orang yang dirumahkan dari 600 industri TPT. "Setiap harinya ada
sebanyak 6.000 karyawan di rumahkan," tuturnya tanpa mau menyebutkan
identitas perusahaan tersebut. Ade memperkirakan PHK tersebut baru akan
dilakukan perusahaan pada Januari hingga Maret 2009.
Setali tiga uang. Industri
alas kaki juga merasakan hal senasib. Menurut Singgih Witarsa, ada tiga
perusahaan yang telah merumahkan karyawannya namun belum sampai melakukan PHK.
Ketiga perusahaan tersebut berlokasi di Jawa Barat, yakni PT Daya Tugu Mitra,
PT Torch Internasional, dan PT Fortunas. "Total karyawannya mencapai 5.000
orang," tegas Singgih Witarsa, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan
Indonesia (Aprisindo). Hingga saat ini, diperkirakan akan sebanyak 200
perusahaan.
Menurut Singgih, pilihan merumahkan seluruh
karyawannya ini dilakukan sambil menunggu kepastian order. Sebabnya, perusahaan
telah menyelesaikan pesanan sepatu hingga akhir Desember 2008 pada Oktober lalu
lantaran adanya peningkatan kapasitas produksi. "Buyer asing meminta
negosiasi harga dari 15 dollar AS menjadi 9 dollar AS per pasang,"
tuturnya.
Max Lukito, manajemen PT
Daya Tugu Mitra membenarkan jika ia telah merumahkan karyawannya. Namun, ia
enggan mengungkapkan berapa banyak karyawan yang dirumahkannya. "Ini hanya
bersifat sementara, kalau ordernya sudah ada, maka kita akan kembali memanggil
untuk memproduksi sepatu kembali," imbuhnya.
Nah, kabar terakhir sudah
ada sebanyak 10 perusahaan paku yang tutup akibat kalah bersaing lantaran
krisis melanda. Ke-10 Perusahaan tesebut antara lain PT Surabaya Wire dan PT
Sidoarjo Metal, dan PT Argamas. "Total karyawannya hingga mencapai ratusan
orang," kata Ario N Setiantoro, Ketua Umum Ikatan Pabrik Kawat dan Paku
Indonesia (Ippaki).
Perusahaan yang juga sudah
mengumumkan PHK adalah PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) atas 1.000
karyawan dan 1.000 karyawan lainnya dirumahkan. Pasalnya, perusahaan bubur kayu
dan kertas itu mengalami kekurangan pasokan bahan baku, selain juga terkena
imbas krisis keuangan global. Selain sejumlah tenaga kerja Indonesia, sekitar
35 pekerja asing juga terkena kebijakan tersebut. Hingga akhir pekan lalu RAPP
mempekerjakan sekitar 4.000 karyawan.
Kalau di total, berapa
jumlah pekerja yang sudah kena PHK? Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi
mengatakan, setiap anggota Apindo telah mem-PHK mulai dari 800 hingga ribuan
buruh. Pemecatan besar-besaran terjadi di industri tekstil, garmen, perkebunan
dan konstruksi. “Sekarang kami bekerja dengan karyawan tetap, yang kontrak
sudah di-PHK,” kata Sofjan, Rabu.
Sebagian besar anggota
Apindo juga mengaku sudah tak sanggup lagi memberikan berbagai macam tunjangan
dan bonus bagi buruh. Itu sebabnya, Sofjan berharap pemerintah segera mengatasi
masalah yang membelit para pengusaha yang terpaksa mengurangi produksi lantaran
pembeli luar negeri khususnya Amerika dan Eropa memangkas permintaan.
Pernyataan Sofjan tak
berbeda jauh dengan catatan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). API
memprediksi sudah 10% dari sekitar 2,1 juta orang yang kehilangan pekerjaan di
industri tekstil. "Krisis sudah nyata terjadi. Mau tak mau kami harus
mengurangi karyawan," ujar Sekretaris Jenderal API Ernovian G Ismy.
Kalau pernyataan pengusaha itu benar, angka
PHK itu sungguh sangat berbeda dengan angka PHK versi pemerintah. Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) mencatat jumlah pekerja yang
terkena PHK baru mencapai belasan ribu saja.
Dari permohonan PHK untuk
23.927 buruh, ada 17.418 buruh yang resmi kena PHK per 5 Desember 2008 lalu.
Sedangkan yang berstatus dirumahkan ada 6.597 pekerja dari rencana 19.091
pegawai.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan
gelombang PHK di perusahaan yang berorientasi ekspor terjadi lantaran
negara-negara yang menjadi target penjualan produk Indonesia sedang membatasi
ekspor. Menurut Kalla, PHK di Indonesia tak sebesar India maupun China.
"Jadi memang ada PHK tapi tidak sebesar apa yang terjadi di negara
industri seperti China dan India," kata Kalla.
Boleh saja Kalla mengatakan
PHK di Indonesia rendah. Hanya saja, sekecil apapun PHK, tetap saja meniadakan
pendapatan keluarga si pekerja. Itu sebabnya, gubernur di daerah-daerah juga
harus tanggap merespons PHK ini.
Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2008/12/12/16350074/pemerintah.harus.bergegas.atasi.phk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar